Selasa, 07 Mei 2013

DOWN SYNDROME

(Sindroma Down)


Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom (Cuncha, 1992). Down syndrome dinamai sesuai nama dokter berkebangsaan Inggris bernama Langdon Down, yang pertama kali menemukan tanda-tanda klinisnya pada tahun 1866. Pada tahun 1959 seorang ahli genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya, mengidentifikasi basis genetiknya. Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami down syndrome hampir selalu memiliki 47 kromosom, bukan 46. Ketika terjadi pematangan telur, 2 kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil gagal membelah diri. Jika telur bertemu dengan sperma, akan terdapat kromosom 21—yang istilah teknisnya adalah trisomi 21. Down syndrome bukanlah suatu penyakit maka tidak menular, karena sudah terjadi sejak dalam kandungan.

Bayi yang mengalami down syndrome jarang dilahirkan oleh ibu yang berusia di bawah 30 tahun, tetapi risiko akan bertambah setelah ibu mencapai usia di atas 30 tahun. Pada usia 40 tahun, kemungkinannya sedikit di atas 1 dari 100 bayi, dan pada usia 50 tahun, hampir 1 dari 10 bayi. Risiko terjadinya down syndrome juga lebih tinggi pada ibu yang berusia di bawah 18 tahun.

Masalah ini penting, karena seringkali terjadi di berbagai belahan dunia, sebagaimana menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB) Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down syndrome. Sedangkan angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa (Aryanto, 2008). Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa (Sobbrie, 2008). Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita terbukti berpengaruh besar terhadap munculnya down syndrome pada bayi yang dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan down syndrome adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun, kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan angka kemungkinan munculnya down syndrome makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003).

Penyebab

Diperkirakan 1 dari 1000 sampai 1 dari 1100 bayi terlahir sebagai anak yang mengalami down sindrom. Down sindrom merupakan salah satu tipe keterbelakangan mental yang dikenal secara luas, yang disebabkan oleh gangguan atau kelainan kromosom. Manusia normal umumnya memiliki 46 kromosom, sedangkan individu yang mengalami down sindrom mempunyai 47 kromosom. Extra kromosom ini terdapat pada pasangan kromosom 21, dimana seharusnya terdapat 2 buah karena mengalami gangguan terbentuk 3 buah. Kondisi ini mengakibatkan adanya karakteristik wajah dan fisik yang tampak khusus atau khas yang sudah dikenal dan dapat terlihat jelas sejak sang bayi lahir.Faktor penyebab lain adalah sering dikait kaitkan dengan terjadinya Down Syndrome adalah usia ibu dan ayah. Peluang ibu dengan umur 35 tahun dikatakan rentan dengan kelahiran anak Down Syndrome. 

Gunarhadi (2005: 28) menyatakan “peluang beresiko melahirkan anak Down Syndrome terjadi apabila seorang ibu berusia 35 tahun lebih , pada usia tersebut ibu memiliki peluang beresiko melahirkan anak Down Syndrome dengan perbandingan 1 diantara 400 bayi lahir. Pada usia ibu 45 tahun lebih dari 35 kelahiran terjadi satu bayi lahir dengan Down Syndrome. Namun bukan berarti anak Down Syndrome terlahir dari ibu berusia 35 tahun keatas.Stray (Gunarhadi,2005:29) menambahkan 80% anak Down Syndrome lahir dari ibu yang berusia kurang dari 35 tahun. Selain itu, masih terdapat anggapan bahwa anak Down Syndrome terlahir dari kurangnya asupan gizi disaat ibu hamil. Dengan ketidakjelasan anggapan itu dipatahkan , bahwa Down Syndrome tidak mengenal strata sosial, baik dari kalangan atas , menengah maupun bawah.

Karakteristik fisik down sindrom

Individu dengan sindrom Down mungkin mengalami beberapa atau semua ciri-ciri fisik sebagai berikut:
  1. Berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar.Letak telinga lebih rendah dengan ukuran telinga yang kecil , hal ini mengakibatkan mudah terserang infeksi.Rambut lurus dan jarang jarang.
  2. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, rongga mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds).Dagu yang tidak normal ,dagu yang kecil. Pada mata terdapat bintik-bintik putih pada di iris dikenal sebagai Brushfield bintik-bintik.Hidung yang datar mengakibatkan kesulitan bernafas. Pertumbuhan gigi gerigi yang lambat dan tumbuh tidak teratur sehingga menyulitkan pertumbuhan gigi permanent.
  3. Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar, terdapat garis melintang pada tangan yang disebut simian crease.
  4. Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput dan kering. Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain seperti kelainan jantung sejak lahir, pembesaran usus besar.
  5. Otot yang lemah (hypotanus) mengakibatkan pertumbuhan terganggu (terlambat dalam proses berguling , merangkak, berjalan , berlari dan berbicara).
Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid, jembatan hidung yang datar, leher pendek. Kebanyakan individu dengan sindrom Down memiliki keterbelakangan mental di ringan (IQ 50-70) sampai sedang (IQ 35-50) rentang, dengan individu-individu yang memiliki sindrom Down Mosaik biasanya 10-30 poin lebih tinggi. Di samping itu, individu dengan sindrom Down dapat memiliki kelainan serius yang mempengaruhi sistem tubuh manapun. 

Karakteristik mental anak down syndrome

Adalah terbatasnya kemampuan kognitif mereka. Kemampuan kognitif yang terbatas, maka akan mempengaruhi akademik mereka. Anak dengan down syndrome biasanya mengalami kesulitan dalam hal-hal yang berhubungan dengan belajar karena kemampuan atensi, metacognition, memory, dan generalisasi yang lambat dibandingkan dengan anak normal. Masalah ini dapat berasal dari lemahnya kemampuan persepsi dan menilai (judgement) suatu ingatan yang sudah disimpan dengan keadaan saat ini. Kemampuan dalam menggunakan ingatan jangka pendek yang lemah pada anak down syndrome. Namun demikian anak-anak dengan down syndrome memiliki visual processing skills yang lebih baik, tetapi hampir semua anak yang menderita kelainan ini dapat belajar membaca, menulis dan merawat dirinya sendiri. Anak yang memiliki keterbelakangan mental atau down syndrome seharusnya diperlakukan sama dengan anak normal lainnya. Jika diberi kesempatan, mereka bisa percaya diri dan berprestasi.

Berbagai hambatan yang dialami oleh anak down syndrome, salah satu diantaranya adalah hambatan kemampuan motorik. Kemampuan motorik adalah kemampuan dalam gerakan-gerakan yang dilakukan oleh anggota tubuh untuk melakukan suatu aktivitas atau kegiatan. Menurut Tjutju Sutjihati Soemantri (1995 : 165) perkembangan motorik anak down syndrome tidak secepat anak normal. Ada keyakinan bahwa semakin rendah intelek seorang anak akan semakin rendah pula kemampuan motoriknya, demikian pula sebaliknya. Sedangkan menurut S. M. Lumbantobing (1997 : 39) meskipun anak dengan hendaya (impairment) motorik mengkin mempunyai inteligensi yang normal, namun keterlambatan dibidang motorik merupakan gejala yang umum dijumpai pada reteradasi mental dan sering pula merupakan gejala pendahulu dari pada gangguan belajar (learning disability). Kemampuan motorik anak down syndrome rendah, sebab inteligensi yang dimiliki anak down syndrome juga rendah.

Kesulitan belajar :

Anak dengan kondisi down syndrome mengalami keterbelakangan secara fisik dan mental, karena down syndrome merupakan salah satu dari penyebab retardasi mental, dimana anak-anak dengan retardasi mental mengalami keterlambatan dalam berbahasa-bicara. Keterbelakangan mental ini diakibatkan oleh adanya gangguan pada sistem saraf pusat dan dalam terapi wicara kondisi seperti ini disebut dengan dislogia.

Menurut Maria J. Wantah (2007 : 3) salah satu cara untuk membedakan apakah bayi itu termasuk dalam katagori anak normal atau down syndrome adalah ketika beranjak besar perlu pemeriksaan Inteligensi (IQ). Inteligensi (IQ) adalah gambaran tentang kemampuan yang dimiliki seseorang. Pemeriksaan Inteligensi (IQ) diperlukan untuk menentukan jenis latihan sekolah yang dipilih.

Secara umum anak memiliki tiga katagori aktivitas yang biasa dikerjakan yaitu : aktifitas bantu diri, aktifitas bermain, dan aktifitas kerja anak. Bentuk aktifitas kerja anak di sekolah meliputi akademik seperti membaca, menulis, menghitung, serta pemecahan masalah (Amundson & Well dalam Santoso 2005 : 1). McHale dan Cermak dalam Santoso (2005 : 1) meneliti proporsi waktu yang digunakan anak SD pada murid SD kelas 2, 4, dan 6, diketahui bahwa 31% sampai 60 % menggunakan waktunya untuk aktivitas motorik halus, dan sebagian besar proporsi waktu tersebut digunakan anak untuk melakukan aktivitas yang menggunakan kertas dan pensil seperti menulis. Sisa waktu yang lain digunakan untuk melakukan keterampilan motorik halus yang lain seperti aktivitas yang melibatkan keterampilan manipulasi tangan. Umumnya anak yang berumur 6 atau 7 tahun telah mampu menulis dengan pemberian pembelajaran menulis tradisional (Bargman & MeLaughlin dalam Santoso, 2005 : 1). Penguasaan keterampilan menulis pada usia dini akan memberi kesempatan pada anak untuk meningkatkan kemampuan menulis pada level yang lebih tinggi seperti mengarang tanpa harus memberikan pembelajaran mekanika dan teknik menulis (Martlew dalam Santoso, 2005 : 1). Sebaliknya, bagi anak dengan kebutuhan khusus seperti ADHD, Autis, Asperger Syndrome dan sejenisnya memerlukan perhatian khusus untuk membelajarkan keterampilan menulis pada mereka. Mereka harus berjuang untuk belajar menulis dengan mencurahkan perhatian dan energi dalam mempelajari keterampilan dasar menulis seperti integrasi visual motorik, persepsi bentuk huruf, dan memegang pensil yang benar. Problem yang sering dihadapi anak dengan kebutuhan khusus yang telah duduk dibangku sekolah adalah anak sering ketinggalan atau mengalami kesulitan untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya. Anak menolak untuk belajar menulis karena merasa sulit untuk membentuk huruf atau kesulitan menulis secara otomatis (Amundson & Weil dalam Santoso, 2005 : 1). Kesiapan (readiness) merupakan istilah yang menjelaskan keterampilan dasar yang harus dicapai sebelum anak belajar keterampilan yang baru (Slavin, Karweit, & Wasik dalam Santoso, 2005 : 2). Sovik dalam Santoso (2005 : 2) menyatakan bahwa kesiapan menulis (writing readiness) adalah kemampuan anak untuk mencapai keterampilan menulis dengan adekwat yang telah diberikan oleh seorang pengajar pada level yang sesuai dengan perkembangan anak. Fakta yang terjadi adalah banyak orang tua yang mengajarkan keterampilan menulis sebelum mereka menguasai persyaratan yang harus dikuasai anak untuk belajar menulis. Bila anak dipaksa untuk belajar menulis sebelum menguasai keterampilan menulis yang dipersyaratkan maka anak akan terbiasa menulis dengan cara yang tidak benar. Bila hal ini terjadi terus menerus maka kesalahan tersebut biasanya sulit dikoreksi (Weil & Cunningham-Amundson dalam Santoso, 2005 : 2). Lamme dalam Santoso (2005 : 2) mengidentifikasi enam persyaratan yang harus dikuasai anak untuk mampu menulis, yaitu perkembangan otot-otot kecil tangan, koordinasi matatangan,kemampuan untuk menggunakan alat tulis, kemampuan untuk membuat coretan dasar seperti lingkaran dan garis-garis, memahami bentuk huruf, orientasi pada bahasa tulisan. Beery dalam Santoso (2005 : 2) menyebutkan sembilan bentuk geometri yang harus dikuasai anak untuk mampu menulis, yaitu garis vertikal, garis horizontal, lingkaran, garis saling horizontal dan vertikal, garis miring ke kanan, bujur sangkar, garis miring ke kiri, garis saling miring, dan segitiga. Menulis memerlukan keterampilan yang sangat kompleks seperti integrasi visual motorik, kognitif dan perceptual, serta sensitifitas kinesthetik dan taktil (Maeland dalam Santoso, 2005 : 1). Profesiensi menulis memerlukan maturasi dan integrasi keterampilan tersebut termasuk kemampuan merencanakan gerak (motoric planning), hubungan ruang dan jarak, serta elemen kekutan otot tangan untuk mengerjakan aktivitas menulis (Conhil & Case Smith, Maeland dalam Santoso, 2005 : 1). Identifikasi komponen yang mendasari ketampilan menulis sangat diperlukan untuk mengetahui defisit yang dialami anak sehingga terapis dapat menentukan teknik dan strategi pembelajaran menulis yang sesuai dengan problem yang dihadapi anak.

1 komentar: