Kamis, 26 September 2013

Postingan ini melanjutkan postingan berikut ini...>>>


Kamis, 19 September 2013


Setelah kemaren melakukan cek darah dan cek urin, hasilnya baru hari ini bisa diambil dan dikembalikan ke Poli Penyakit Dalam. Jujur saat tiba di Rumah Sakit pukul 10.00 WIB, aku nervous berat, khawatir kalo kena penyakit yang aneh-aneh. Perasaanku hari itu mirip kayak seorang siswa yang mau mengambil raport hasil belajar, takut jika nilainya jelek-jelek, hehe. Setelah menyerahkan hasil lab ke Poli Peyakit Dalam, jantungku berdebar-debar gak karuan, sungguh sangat ngebikin galau, begitu juga dengan ibuku, beliau bahkan hingga mengeluarkan keringat dingin, dan udah stress hampir pingsan nunggu hasil cek darah dan urin dibacakan dokter yang saat itu menangani. 

Tak lama kemudian, namaku dipanggil, jantung rasanya udah mau copot aja denger namaku dipanggil, begitu juga dengan ibuku. Kami pun memasuki ruangan Poli Penyakit Dalam, ruangan itu seluruhnya bercat putih, dengan bau-bauan obat-obatan menghiasi atmosfer ruangan itu. Ruangan itu memiliki luas 2 x 7 meter, terdapat juga dipan untuk memeriksa pasien. Aku dan Ibuku duduk di bangku panjang di dalam ruangan itu, bersama dengan kami bapak-bapak manula sebanyak 3 orang dan ibu-ibu pekerja kantoran dinas sebanyak 2 orang dan juga bapak-bapak paruh baya yang menunggui Bapaknya perikasa di dalam ruangan itu.

Tiba juga hasil tes darah dan tes urinku dibacakan, beeehhh perasaanku sungguh dag..dig..dug.. apalagi ibuku, udah mau pingsan gara-gara takut anaknya kena penyakit yang aneh-aneh. Takut kalo penyakit ibuku kambuh atou pingsan aku menyuruh ibuku untuk keluar ruangan jika gak kuat denger apa yang akan dokter sampaikan. Dokter yang membaca tes darah dan tes urinku ternyata dulu pernah bekerja di TK Ibuku, tentu saja Ibuku kenal dengan dokter wanita, usianya sekitar 40 tahunan, entah dapet kekuatan dari mana ibuku langsung bangkit dari duduk dan menyalami dokter yang membaca tes kesehatannku. Setelah membolak-balikkan halaman demi halaman tes kesehatanku, tiba di halaman terakhir, beliau terpekur. Aku sudah cemas, gelisah dan gusar jadi satu, sungguh takut kalau hasilnya jelek, aku tak berani melihat muka dan ekspresinya. 

Beliau melihatku sekilas, lalu memngatakan bahwa aku sudah positif terkena 'Tifus', beliau bahkan melingkari tulisan yang menunjukkan adanya infeksi bakteri "Salmonella Typhy" (kalo salah dalam penulisan tolong dimaafin yach) itu. Dengan logat bicara setengah memaksa dia memintaku untuk dirawat inap, jedieerrrr. rekorku untuk di rawat di RS saat itu jebol juga pemirsa. Ibuku yang sedari tadi tegang seperti senar gitar pun menyanggupi saja usulan dokter itu. Padahal aku berharap diperbolehkan menjalani rawat jalan saja, sambil diberi obat-obatan. Ibuku yang belum pernah dan lama mengurusi birokrasi perumah sakitan ato perawat inapan pun kagok juga dia, gak tau musti ngapain juga gak bawa duit cash dia, takut kalo suruh bayar DP Rumah Sakit saat itu juga. Tapi salah seorang dokter lain di ruangan itu menanyai apakah keluarga kami memiliki 'ASKES', ibupun menjawab 'iya', dan ditanyai juga, golongan PNS Bapakku. Dalam keadaan nervous berat Ibuku lupa segalanya, bahkan jabatan suaminya sendiri lupa sangking tegangnya. Akhirnya dimintanya kartu 'ASKES-ku', dilihatnya bahwa golongaan Bapakku yang tertera di kartu ASKES lama yaitu golongan dua, artinya jika mau pengobatan gratis ruangan tempatku di rawat inap hanya di kelas 2. Dokter tersebut juga mengatakan bahwa, di bangsal kelas 2, terdapat 4 orang pasien dengan pembatas, yang membatasi antar pasien. Jika menghendaki di rawat di paviliun atau ruang VIP, musti nambah biaya lagi. 

Mendengar percakapan tadi dan aku diharuskan rawat inap, Bapak-Bapak paruh baya bertubuh gempal dengan perut buncit dan berkulit gelap yang duduk disampigku, memprovokasi aku untuk dirawat di paviliun saja. Dengan alasan demi kenyamanan saat rawat inap. Dia juga mengatakan kalo di kelas 2 gak bakalan bisa tidur coz, satu ruangan diisi oleh 4 orang pasien, tetapi di paviliun hanya ada satu pasien dan dilengkapi dengan toilet pribadi, TV dan juga ada AC.

Tau aku gak bakalan bisa tidur, dan tau aku kagok juga denger berita itu, coz baru pertama kali aku dirawat inap di Rumah Sakit. Ibuku menempatkan aku di paviliun. Akhirnya buku kuning laporan kesehatanku dibawa oleh salah satu petugas dari Poli Penyakit Dalam, menuju Paviliun Wijaya Kusuma lantai 2. Kami pun mengikuti dia, sambil aku wink-wink sama ibuku. Aku pun masih kuat berjalan dan naik tangga ke lantai dua. Tiba di lantai 2, petugas tadi menyerahkan buku kuning tadi, dan salah seorang perawat cewek, menanyakan siapa yang sakit, petugas itu menunjuk ke arahku. Kemudian perawat tadi mengecek ruangan yang sedang kosong, yaitu ada di ruangan 208. Jadilah aku resmi dirawat inap di ruangan paviliun ruang 208. 

Aku dan Ibu diantar petugas tadi ke ruangan yang dimaksud. Di dalam ruangan itu sudah stand by 2 orang perawat cowok. 1 orang berperawakan tinggi jangkung berusia sekitar 30 tahunan memiliki kulit sawo matang. Satu lagi berperawakan pendek dan gempal, perutnya sedikit buncit, rambut dikepalanya sudah terlihat botak dan berkulit lebih gelap. Mereka berdua menyapaku dan Ibuku ramah, dia menanyakan siapa yang sakit diantara kami berdua, Ibuku menunjukku. Lalu aku dimintanya berbaring di tempat tidur yang ada diruangan itu. 

Ruangan itu memiliki luas 6,5 x 3,5 meter dengan dilengkapi wastafel dengan cerminnya, TV flat berukuran 21 inchi dengan antena parabolanya, AC dan toilet pribadi dengan showernya. Pokoknya ruangan itu sungguh mirip hotel di Sarangan, sungguh nyaman, dan untuk yang menunggui pasien disediakan kursi 2 in 1 yang bisa di rubah untuk kasur dengan dipan.

Dasar emang akunya orang iseng, sebelum jarum infus dimasukkan ke dalam lenganku, aku masih sempet-sempetnya melihat-lihat keadaan di luar ruangan melalui jendela di ruangan tersebut. MAsih sempet-sempet juga nyoba-nyopa mencetin tombol-tombol remote TV flat itu, ini mah aji mumpung, coz di rumah gak punya yang kaek gitu, haha.

Tiba-tiba, pintu di ketuk, aku yang tadi masih berdiri di depan TV, langsung buru-buru loncat ke atas dipan RS, pura-pura jadi anak yang nurut dan baek, wkwkwk, padahal pecicilan. Dua orang perawat cowok tadi masuk sambil membawa nampan yang peuh dengan kapas, kecil-kecil dan peralatan untuk infus. Aku yang baru kali ini di infus kagok juga lah, aku masih sempet-sempetnya merebut tanganku dari genggaman dua perawat itu, dua perawat itu sibuk membujukku buat nurut diinfus. Aku masih sempet-sempetnya mau berfikiran buat kabur, wkwk rencananya mau loncat dari dipan itu.

Aku emang udah beberapa kali melakukan donor darah jadi udah gak takut jika harus donor lagi. Tapi, kali ini beda aku baru sekali ini diharuskan rawat inap di RS dan sekali ini juga baru akan diinfus jadi nervous juga, sih. Dengan malu-malu siput, aku beranikan bertanya sakitan mana donor darah sama infus. Perawat yang bertubuh jangkung mengatakan bahwa masih sakitan donor darah karena jarumnya lebih besar. Akhirnya dengan pasrah dan nyerah, aku nurut sambil nutupin muka pake silimut, dan kemudian, cusssss..... kurang dari satu menit jarum itu udah sukses menancap di lengan kiriku. Setelah itu perawat tadi dengan cekatan memasang botol infus, lalu lelalui selang infus itu aku merasakan hawa dingin menjalar memasuki pembuluh darahku, jantungku sempat derdegup kencang sebentar. Tidak hanya itu saja, perawat tadi menyuntikkan cairan obat melalui slang infus, ketika sampai di dalam pembuluh darah, rasa pahit menjalar ke dalam lidah dan mulutku. Sesudah di infus, Ibuku pulang buat kabar-kabar trus sama ambil baju ganti ku, nah di waktu gak ada orang itulah aku dengan Pe-Denya bangkit dari kasur, dan langsung mencopot botol infus dari tiang gantungan terus jalan ke luar jendela liat-liat keadaan sambil nyembunyiin tanganku, biar mereka yang ngeliat aku gak tau kalo aku 'pasien' yang bandel, udah gitu aku sempet-sempetin mengintip dari dalam pintu, liat keadaan luar, sambil tetep nyembunyiin tanganku yang diinfus. Dan akibatnya, darahku malah naek ke atas slang infus, aku agak panik juga sih, takut-takut gimana gitu ngeliat darahku sendiri merangkak ke atas.

Sesaat setelah diinfus, cusss.... mantab....!!!

Ada darah, di stang infus...

Waktu berjalan cepat, ketika malam tiba, dokter yang menangani aku malam jam 20.00 WIB tiba dengan diikuti seluruh anak buahnya, sekitar 7 orang beserta dokter itu #Ini_nih_yang_namanya_keroyokan. Namanya Dokter Mahatma, dokter spesialis penyakit dalam, yang bikin mata melek, asisten dokter itu lho, yang kemaren aku liat di dalam poli penyakit dalam, dokter muda yang blink-blink bening gimana itu, diikuti juga dengan 1 dokter muda, yang gak kalah bening, trus sama seorang perawat yang mencatat data-dataku, terus sama dokter cewek usianya sekitar 30 tahunan, kliatannya sih dia jutek n jutek gitu. sama perawat-perawat cowok lain.

Dokter Mahatma itu sedikit horor dan angker, terlihat banget kalo dia mahal senyum, mungki udah lupa kali rasanya tersenyum. Dokter Mahatma yang menangani dan merawatku selama di Rumah Sakit ini, untuk selanjutnya aku sebut dengan, "Dokter Spesialis Bikin Galau." Dokter Mahatma yang malam itu berkunjung ke dalam kamarku, saat memeriksaku pun hanya sesaat, bahkan cuma nempel-nempelin stetoskop doang di atas tubuhku, sambil menepuk-nepukkan tangannya di atas perutku. Seakan-akan dengan ujung stetoskop yang bundar itu mengetuk-ngetuk 'pintu' organ-organku dan menanyakan kabarnya serta menanyakan sakit apa...??? #gubrakk. Sesudah itu ia berlalu sambil mengeluarkan 'sabda-nya' bahwa besok pagi aku harus melakukan pemeriksaan dengan X-ray. #Gubrakk...

BERSAMBUNG KE POSTINGAN SELANJUTNYA...>>>>

0 komentar:

Posting Komentar