Senin, 14 Juli 2014




MANAJEMEN PENDIDIKAN

BUDAYA SEKOLAH
BAB I
KAJIAN PUSTAKA
1.1    Budaya Sekolah
Willard Waller (Peterson dan Deal, 2009: 8) menyatakan bahwa setiap sekolah memunyai  budayanya sendiri, yang berupa serangkaian nilai, norma, aturan moral, dan kebiasaan, yang  telah membentuk perilaku dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Sementara itu, Short dan Greer (1997) mendefinisikan budaya sekolah sebagai keyakinan, kebijakan, norma, dan kebiasaan di dalam sekolah yang dapat dibentuk, diperkuat, dan dipelihara melalui pimpinan dan guru-guru di sekolah. Budaya sekolah, dengan demikian, merupakan konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh tidak hanya pada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya.
Budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antarkomponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah.
Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.
Pada awalnya budaya sekolah dibentuk dalam jaringan yang sifatnya formal. Serangkaian  nilai,  norma,  dan  aturan  ditentukan  dan  ditetapkan  pihak  sekolah sebagai panduan bagi warga sekolah dalam berikir, bersikap, dan bertindak. Dalam perkembangannya, secara perlahan budaya sekolah ini akan tertanam melalui jaringan kultural yang informal, karena sudah menjadi trade mark sekolah yang bersangkutan. Siapa pun yang masuk ke dalam wilayah sekolah, mereka akan dan harus menyesuaikan diri dengan budaya yang berlaku di dalamnya. Kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa pada umumnya banyak berperan dalam jaringan ini.
1.2    Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa
1.2.1   Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik  agar  menjadi  manusia  yang  beriman dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.  
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki system berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.
Berdasarkan pengertian budaya karakter bangsa, dan pendidikan yang telah dikemukakan di atas maka pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakterbangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.
1.2.2   Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1.    Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
2.    Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan,
3.    Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
1.2.3   Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1.    Mengembangkan potensi kalbu atau nurani atau afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2.    Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3.    Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
4.    Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
5.    Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
1.2.4   Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.
1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3.  Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4.   Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini.
NILAI
DESKRIPSI
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat atau Komuniktif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.  Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggungjawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

1.3    Karakter Anak di Sekolah Dasar
Anak SD merupakan anak dengan katagori banyak mengalami perubahan yang sangat drastis baik mental maupun fisik. Usia anak SD yang berkisar antara 6-12 tahun menurut Seifert dan Haffung memiliki tiga jenis perkembangan :
1.3.1   Perkembangan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar
Mencakup pertumbuhan biologis misalnya pertumbuhan otak, otot dan tulang. Pada usia 10 tahun baik lakilaki maupun perempuan tinggi dan berat badannya bertambah kurang lebih 3,5 kg. Namun setelah usia remaja yaitu 1213 tahun anak perempuan berkembang lebih cepat dari pada lakilaki, Sumantri dkk (2005). 
1.    Usia masuk kelas satu SD atau MI berada dalam periode peralihan dari pertumbuhan cepat masa anak anak awal ke suatu fase perkembangan yang lebih lambat. Ukuran tubuh anak relatif kecil perubahannya selama tahun-tahun di SD. 
2.    Usia 9 tahun tinggi dan berat badan anak lakilaki dan perempuan kurang lebih sama. Sebelum usia 9 tahun anak perempuan relatif sedikit lebih pendek dan lebih langsing dari anak lakilaki.
3. Akhir kelas empat, pada umumnya anak perempuan mulai mengalami masa lonjakan pertumbuhan. Lengan dan kaki mulai tumbuh cepat.  
4. Pada akhir kelas lima, umumnya anak perempuan lebih tinggi, lebih berat dan lebih kuat daripada anak lakilaki. Anak lakilaki memulai lonjakan pertumbuhan pada usia sekitar 11 tahun.
5. Menjelang awal kelas enam, kebanyakan anak perempuan mendekati puncak tertinggi pertumbuhan mereka. Periode pubertas yang ditandai dengan menstruasi umumnya dimulai pada usia 1213 tahun. Anak lakilaki memasuki masa pubertas dengan ejakulasi yang terjadi antara usia 1316 tahun.
6. Perkembangan fisik selama remaja dimulai dari masa pubertas. Pada masa ini terjadi perubahan fisiologis yang mengubah manusia yang belum mampu bereproduksi menjadi mampu bereproduksi. 
Hampir setiap organ atau sistem tubuh dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ini. Anak pubertas awal (prepubertas) dan remaja pubertas akhir (postpubertas) berbeda dalam tampakan luar karena perubahan perubahan dalam tinggi proporsi badan serta perkembangan ciriciri seks primer dan sekunder.
Meskipun urutan kejadian pubertas itu umumnya sama untuk tiap orang, waktu terjadinya dan kecepatan berlangsungnya kejadian itu bervariasi. Ratarata anak perempuan memulai perubahan pubertas 1,5 hingga 2 tahun lebih cepat dari anak lakilaki. Kecepatan perubahan itu juga bervariasi, ada yang perlu waktu 1,5 hingga  2  tahun  untuk  mencapai  kematangan  reproduksi,  tetapi  ada  yang memerlukan waktu 6 tahun. Dengan adanya perbedaanperbedaan ini ada anak yang telah matang sebelum anak yang sama usianya mulai mengalami pubertas.
1.3.2   Perkembangan Kognitif Anak Usia Sekolah Dasar
Hal tersebut mencakup perubahan-perubahan dalam perkembangan pola pikir. Tahap perkembangan kognitif individu menurut Piaget melalui empat stadium: 
1. Sensorimotorik (02 tahun), bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan medorong mengeksplorasi dunianya.
2.    Praoperasional (27 tahun), anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan katakata. Tahap pemikirannya yang lebih simbolis tetapi tidak melibatkan pemikiran operasiaonal dan lebih bersifat egosentris dan intuitif ketimbang logis.
3.   Operational Kongkrit (711), penggunaan logika yang memadai. Tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda konkrit.
4.    Operasional Formal (1215 tahun), kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
1.3.3   Perkembangan Psikososial Anak Usia Sekolah Dasar
Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan dan perubahan emosi individu. J. Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu harus sejalan dengan perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah aspek psikis, moral dan sosial.  
Menjelang masuk SD, anak telah Mengembangkan keterampilan berpikir bertindak dan pengaruh sosial yang lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada dasarnya egosentris (berpusat pada diri sendiri) dan dunia mereka adalah rumah keluarga, dan taman kanakkanaknya. 
Selama duduk di kelas kecil SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering rendah diri. Pada tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka "dewasa". Mereka merasa "saya dapat mengerjakan sendiri tugas itu, karenanya tahap ini disebut tahap "I can do it my self". Mereka sudah mampu untuk diberikan suatu tugas. 
Daya konsentrasi anak tumbuh pada kelas kelas besar SD. Mereka dapat meluangkan lebih banyak waktu untuk tugas tugas pilihan mereka, dan seringkali mereka dengan senang hati menyelesaikannya. Tahap ini juga termasuk tumbuhnya tindakan mandiri, kerjasama dengan kelompok dan bertindak menurut cara-cara yang dapat diterima lingkungan mereka. Mereka juga mulai peduli pada permainan yang jujur. 
Selama  masa  ini  mereka  juga  mulai  menilai  diri  mereka  sendiri  dengan membandingkannya dengan orang lain. Anak anak yang lebih mudah menggunakan perbandingan sosial (social comparison) terutama untuk normanorma sosial dan kesesuaian jenisjenis tingkah laku tertentu. Pada saat anakanak tumbuh semakin lanjut, mereka cenderung menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan kemampuan mereka sendiri. 
Sebagai akibat dari perubahan struktur fisik dan kognitif mereka, anak pada kelas besar di SD berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai orang dewasa.Terjadi perubahan perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial dan emosional mereka. Di kelas besar SD anak lakilaki dan perempuan menganggap keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan bahwa dirinya berharga. Tidak diterima dalam kelompok dapat membawa pada masalah emosional yang serius Temanteman mereka menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Kebutuhan untuk diterima oleh teman sebaya sangat tinggi. Remaja sering berpakaian serupa. Mereka menyatakan kesetiakawanan mereka dengan anggota kelompok teman sebaya melalui pakaian atau perilaku. 
Hubungan antara anak dan guru juga seringkali berubah. Pada saat di SD kelas rendah, anak dengan mudah menerima dan bergantung kepada guru. Di awal awal tahun kelas besar SD hubungan ini menjadi lebih kompleks. Ada siswa yang menceritakan informasi pribadi kepada guru, tetapi tidak mereka ceritakan kepada orang tua mereka. Beberapa anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model.
Sementara itu, ada beberapa anak membantah guru dengan cara-cara yang tidak mereka bayangkan beberapa tahun sebelumnya. Malahan, beberapa anak mungkin secara terbuka menentang gurunya. 
Salah satu tanda mulai munculnya perkembangan identitas remaja adalah reflektivitas yaitu kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam benak mereka sendiri dan mengkaji diri sendiri. Mereka juga mulai menyadari bahwa ada perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan serta bagaimana mereka berperilaku. 
Mereka mulai mempertimbangkan kemungkinankemungkinan. Remaja mudah dibuat tidak puas oleh diri mereka sendiri. Mereka mengkritik sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah perilaku mereka. Pada remaja usia 18 tahun sampai 22 tahun, umumnya telah mengembangkan suatu status pencapaian identitas.
1.4    Masalah Belajar Anak di Sekolah Dasar
1.4.1   Pengertian Kesulitan Belajar
“National Joint Committee on Learning Disabilities” (NJCLD) menyatakan bahwa kesulitan belajar adalah istilah generik yang merupakan kelompok kelainan yang heterogen yang bermanifestasi sebagai kesulitan yang bermakna dalam memperoleh dan menggunakan kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis mengeluarkan pendapat dan matematika. Dalam pengertian lain kesulitan merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatanhambatan dalam mencapai tujuan, sehingga memerlukan usaha lebih giat lagi untuk dapat mengatasi. Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam suatu proses belajar yang ditandai adanya hambatanhambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar.
1.4.2   Beberapa Perilaku Gejala Kesulitan Belajar
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2.  Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah.
3.  Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4.    Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
1.4.3   Jenis-jenis Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar dapat dibagi menjadi tiga kategori besar.
1.    Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa.
2.    Permasalahan dalam hal kemampuan akademik.
3.   Kesulitan lain yang mencakup kesulitan dalam mengkoordinasikan gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas.
Kesulitan membaca, menulis dan berhitung termasuk dalam kesulitan dalam hal kemampuan akademik sebagaimana penjelasan di bawah ini:
A.  Kesulitan Membaca (Disleksia)
Membaca yaitu melihat serta menahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati atau dapat pula diartikan mengeja atau melafalkan apa yang tertulis.
Membaca merupakan proses yang kompleks yang melibatkan kedua belahan otak. Anak harus sudah memahami bahasa dan curah verbal harus baik, mengenal huruf dan arah, dapat mengingat apa yang dilihat dan didengar, dapat mengintegrasikan yang dibaca dengan bahasa tutur (koneksi visual-auditoris). Juga atensi dan minat membaca anak harus cukup.
Anak dinyatakan mengalami disleksia bila pada usia 7 tahun atau akhir kelas 1 SD anak belum dapat membaca. Disleksia pada anak lakilaki 3 hingga 6 kali lebih banyak daripada perempuan. Dua jenis disleksia yang perlu diketahui adalah disleksia visual dan disleksia auditoris.
Pada disleksia visualis anak mengalami kesulitan dalam persepsi visual-spasial dan memori visual. Anak sulit membedakan bentuk huruf yang mirip (bayangan cermin seperti b-d, p-g, p-q, atau terbalik seperti mw), gangguan urutan huruf (ibu-ubi) atau urutan suku kata (mata-tama). Analisis dan sintesis visual kulit. Kelainan ini jarang hanya 5% dari jenis disleksia. Anak ini menonjol dalam kemampuan persepsi auditoris atau mengingat cerita.
Pada disleksia auditoris atau disleksia linguistik, anak mengalami kesulitan mengingat kembali kata-kata yang diucapkan, kesulitan membedakan huruf yang bunyinya mirip seperti t-d, b-g, kesulitan mengeja, kesulitan menemukan kata dan urutan yang didengar kacau (sekolah-sekohla). Prevalensi cukup besar 50-80% dari jenis disleksia.
B.  Kesulitan Menulis (Disgrafia)
Menulis berasal dari kata dasar tulis, menulis berarti membuat huruf atau angka dengan pena (pensil, kapur, dan sebagainya), melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat dengan tulisan.
Bahasa tulisan merupakan bentuk bahasa yang ekspresif yang paling kompleks. Bahasa tulisan merupakan sistem simbol untuk mengutarakan pikiran, perasaan, dan ide. Untuk itu anak harus memahami bahasa, menggunakan bahasa tutur, dapat membaca, dan akhirnya mengekspresikan idenya melalui kata-kata tulisan. Kesulitan menulis dapat pula disebabkan anak tidak dapat mengalihkan informasi atau persepsi visual ke sistem motorik tangan.
Kesulitan menulis anak dengan gangguan integrasi visual-motor tidak mampu belajar pola motorik untuk menulis, atau keterampilan motorik nonverbal. Solusi awal adalah dengan memberikan soal dengan jawaban ganda.
C.  Kesulitan Menghitung (Diskalkulia)
Berhitung dalam kamus besar bahasa indonesia berasal dari kata hitung yang berarti perihal membilang (menjumlahkan, mengurangi, membagi, memperbanyak, dan sebagainya). Berhitung yaitu mengerjakan hitungan (menjumlahkan, mengurangi, dan sebagainya). Sedangkan menghitung yaitu mencari jumlahnya (sisa pendapatannya) dengan menjumlahkan, mengurangi dan sebagainya. Gangguan pada kemampuan menghitung atau kemampuan matematika adalah salah satu gangguan belajar. Gangguan matematika ini dikelompokkan menjadi empat keterampilan.
1. Keterampilan linguistik yaitu yang berhubungan dengan mengerti istilah matematika dan mengubah masalah tertulis menjadi simbol matematika.
2.  Keterampilan perseptual yaitu kemampuan mengenali dan mengerti simbol dan mengurutkan kelompok angka.
3.   Keterampilan matematika yaitu penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dasar dan urutan operasi dasar.
4. Keterampilan atensional yaitu menyalin angka dengan benar dan mengamati simbol operasional dengan benar.
1.4.4   Upaya untuk Menangani Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
Pemecahan kesulitan belajar dapat dilakukan dengan cara melakukan diagnosis. Diagnosis adalah upaya mengenali gejala dengan cermat terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa. Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri dari langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur jenis ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.
Dalam melakukan diagnostik kesulitan belajar siswa, perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.
2.  Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
3. Mewawancarai orang tua atau wali untuk mengetahui hal-hal keluarga siswa yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
4. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.
5. Memberikan tes kemampuan inteligensi (IQ) khususnya kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Selain itu untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pengidap sindrom disleksia, disgrafia, dan diskalkulia, guru dan orang tua sangat dianjurkan untuk memanfaatkan support teacher (guru pendukung). Guru khusus ini biasanya bertugas menangani para siswa yang mengalami sindrom-sindrom tersebut di samping melakukan remidial teaching (pengajaran perbaikan). Aktivitas remidial untuk menangani kesulitan belajar berhitung hendaknya mencakup tiga kategori yaitu pengajaran konsep matematika, keterampilan, dan pemecahan masalah.
BAB II
KESIMPULAN
1.1    Kesimpulan
Proses pendidikan dan pembudayaan merupakan satu rangkaian proses humanisasi, sehingga keduanya tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia.
Proses pendidikan bukan semata penguasaan pengetahuan, keterampilan teknikal saja, karena ini sekedar alat, atau perkakas. Tetapi proses pendidikan harus bertumpu pada anak itu sendiri, untuk dapat berkembang mencapai sempurnanya hidup. Karena buahnya pendidikan adalah matangnya jiwa anak, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang sempurna dan memberikan manfaat bagi orang lain dan lingkungannya.
Dalam perjalanannya, proses pendidikan harus berhadapan dengan arus globalisasi yang membawa dampak positif maupun negative. Ekses globalisasi ini mempengaruhi gaya hidup suatu bangsa, yang pada gilirannya dapat mereduksi, bahkan merusak harkat, martabat dan jati diri bangsa.
Sebagai upaya mempertahankan dan membangun harkat, martabat dan jati diri bangsa, perlu digalakkan pendidikan karakter yang salah satunya dapat ditempuh melalui pengembangan budaya sekolah.
REFERENSI
Al Arifin, Akhmad Hidayatullah (2012). Pendidikan Karakter dan Budaya Sekolah. From http://ulilalbabjong.wordpress.com/2012/01/23/pendidikan-karakter-dan-budaya-sekolah/.
Sudrajat, Ajat (2012). Membangun Budaya Sekolah Berbasis Karakter Terpuji. Yogyakarta: FIS UNY.
Hasan, Said Hamid (2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Sugiyanto (2012). Karakteristik Anak Usia SD. Jakarta: Balai Pustaka.
Winarsih. 2013. “Upaya Guru dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Membaca, Menulis, dan Berhitung (CALISTUNG) pada Siswa Kelas 1 SD Negeri Jatiroto, Wonosari, Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo”. Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Program Sarjana. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar