Rabu, 10 September 2014


Aku sepeti sedang berada di suatu ruangan yang sangat luas, ruangan itu tak bertepi, tak beratap, tak bertembok, tak berpintu, tak ada jendela, tak ada batasan, tak ada arah dan tak ada warna di ruang itu. Putih... hanya putih... tak ada warna lain disana. Siapapun bisa memasuki ruang itu. Bagi siapapun yang memasukinya akan menjadi dirinya yang sesungguhnya. Apapun yang kau miliki, gelar, jabatan dan harta tak ada artinya di ruangan itu. Begitu pula dengan keburukan, kejelekan dan cacat tubuhmu tak ada artinya lagi. Semuanya hilang musnah bagai asap yang menggepul lalu menghilang. Hanya dirimu seorang, hanya kau dan jati dirimu yang sesungguhnya. 

Tak kusadari tiba-tiba datang dua orang memasuki ruang tersebut, aku mengenalnya baik mereka berdua. Mereka datang dengan semua yang mereka punyai. Orang pertama datang dengan berbagai macam kelebihannya dan semua kebaikan-kebaikan yang dimilikinya. Kemudian orang kedua datang dengan berbagai kejelekan dan keburukan yang dia punya. Tak ada yang baik dari orang kedua ini. Bahkan bila dibandingkan dengan orang pertama tadi. Tak ada setitik kecilpun dari orang kedua ini yang bisa dibandingkan dengan apa-apa yang dimiliki oleh orang pertama.

Tapi oh tapi kedua orang ini lupa bahwa mereka memasuki sebuah ruangan yang asing bagi mereka. Dimana semua yang mereka punya tak berarti apapun. Setelah mereka memasukinya, tak ada satu kebaikan dan kejelekan yang datang mengikuti mereka masuk ke dalam ruangan tersebut. Hanya diri mereka yang sebenarnya tanpa embel-embel apapun. 

Ternyata baru kusadari bahwa ruangan itu tak lain dan tak bukan ialah qalbuku sendiri. Dimana hadir dua orang yang bertolak belakang dengan semua yang mereka miliki dan semua yang mereka perbuat. Tapi entah mengapa di ruangan yang lebar dan tak bertepi itu tak ada tamu. Yaa tamu yang bernama logika. Logika yang mengisi ruangan itu agar tak salah arah dan tujuan. Tak ada logika sehingga di ruangan itu tak ada hukum salah dan benar, hanya dapat merasakan, merasakan kebenaran langsung dari sang Maha Pencipta. 

Kebenaran yang terkadang ditolak mentah-mentah oleh logika ketika sesaat sesudah keluar dari ruangan itu. Dan entah mengapa pilihan kemudian jatuh pada tangan yang salah serta bertolak belakang dengan logika. Ketika logika menghitung untung-rugi memperkirakan dan memikirkan baik dan buruk. Tapi logika terkadang lupa, bahwa dalam jiwa dan diri sesorang dilengkapi juga dengan navigasi yang menuntun ke arah kebenaran, menuntun ke arah yang baik dan benar dengan bisikan dan kuasa sang maha Penguasa atas alam raya ini. Navigasi itu disebut qalbu atau hari setiap insan manusia.

Itukah yang disebut sebagai cinta, atau entahlah, yang pasti, kita hanya mampu merasakan tak dapat memikirkan juga memaksanya masuk. Tak akan ada baiknya memaksakan sesuatu. Biarlah ia mengalir dengan sendirinya. Tanpa ada paksaan kehendak yang lain. Dengan begitu akan ada cerita dan akhir yang tak bisa disangka-sangka dan tak bisa ditebak dan dipastikan. Tapi juga seru, menegangkan, ada tangis, canda dan tawa. Semua terangkum menjadi satu, tak di tebak dan tak disangka, tetapi pada akhirnya akan ada kebahagiaan di ujung perjalanan. Ah indanya hidup ini jika kita tau makna yang sesungguhnya. Sekian dan terimakasih...

0 komentar:

Posting Komentar