MANAJEMEN
PENDIDIKAN
BUDAYA SEKOLAH
BAB I
KAJIAN PUSTAKA
1.1
Budaya Sekolah
Willard Waller (Peterson dan Deal, 2009: 8)
menyatakan bahwa setiap sekolah memunyai
budayanya sendiri, yang berupa serangkaian nilai, norma, aturan moral,
dan kebiasaan, yang telah membentuk perilaku
dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Sementara itu, Short dan Greer (1997)
mendefinisikan budaya sekolah sebagai keyakinan, kebijakan, norma, dan
kebiasaan di dalam sekolah yang dapat dibentuk, diperkuat, dan dipelihara
melalui pimpinan dan guru-guru di sekolah. Budaya sekolah, dengan demikian,
merupakan konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan keyakinan, nilai, norma,
dan kebiasaan yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga dalam
kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh tidak hanya pada kegiatan
warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya.
Budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya
mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan
ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial
antarkomponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah
tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor
dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota
kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok
terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di
suatu sekolah.
Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi,
kerja keras, disiplin, kepedulian sosial kepedulian lingkungan, rasa
kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam
budaya sekolah. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter
bangsa dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala
sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan
peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.
Pada awalnya budaya sekolah dibentuk dalam jaringan
yang sifatnya formal. Serangkaian
nilai, norma, dan
aturan ditentukan dan
ditetapkan pihak sekolah sebagai panduan bagi warga sekolah
dalam berikir, bersikap, dan bertindak. Dalam perkembangannya, secara perlahan
budaya sekolah ini akan tertanam melalui jaringan kultural yang informal,
karena sudah menjadi trade mark sekolah yang bersangkutan. Siapa pun yang masuk
ke dalam wilayah sekolah, mereka akan dan harus menyesuaikan diri dengan budaya
yang berlaku di dalamnya. Kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa pada
umumnya banyak berperan dalam jaringan ini.
1.2
Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa
1.2.1
Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di
Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan
nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter
bangsa.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem
berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan
masyarakat. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi
peserta didik, sehingga mereka memiliki system berpikir, nilai, moral, dan
keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke
arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan
norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada
orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter
masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa
hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Pengembangan
budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan
yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat,
dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi
pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai
Pancasila.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan
sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga
suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.
Berdasarkan pengertian budaya karakter bangsa, dan
pendidikan yang telah dikemukakan di atas maka pendidikan budaya dan karakter
bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan
karakterbangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter
sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis,
produktif dan kreatif.
1.2.2
Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi
pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1.
Pengembangan:
pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini
bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan
budaya dan karakter bangsa;
2.
Perbaikan:
memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan
potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan,
3.
Penyaring: untuk
menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
1.2.3
Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan
pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1.
Mengembangkan
potensi kalbu atau nurani atau afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara
yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2.
Mengembangkan
kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3.
Menanamkan jiwa
kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
4.
Mengembangkan
kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan;
dan
5.
Mengembangkan
lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan
penuh kekuatan (dignity).
1.2.4
Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai
yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi
dari sumber-sumber berikut ini.
1. Agama:
masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan
individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan
kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada
nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai
pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah
yang berasal dari agama.
2. Pancasila:
negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada
Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat
dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi
nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan,
budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan
peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang
memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupannya sebagai warga negara.
3. Budaya: sebagai
suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak
didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya
itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam
komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting
dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4. Tujuan
Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga
negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai
jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan
yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional
adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa. Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi sejumlah
nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini.
NILAI
|
DESKRIPSI
|
1. Religius
|
Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
|
2. Jujur
|
Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
|
3. Toleransi
|
Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.
|
4. Disiplin
|
Tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
|
5. Kerja Keras
|
Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
6. Kreatif
|
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
|
7. Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
|
8. Demokratis
|
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak
yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
|
9. Rasa Ingin Tahu
|
Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
|
10. Semangat Kebangsaan
|
Cara berpikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
diri dan kelompoknya.
|
11. Cinta Tanah Air
|
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat
yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
|
12. Menghargai Prestasi
|
Sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
|
13. Bersahabat atau Komuniktif
|
Tindakan yang memperlihatkan rasa
senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
|
14. Cinta Damai
|
Sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
|
15. Gemar Membaca
|
Kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
|
16. Peduli Lingkungan
|
Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
|
17. Peduli Sosial
|
Sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
|
18. Tanggungjawab
|
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap
diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan
Tuhan Yang Maha Esa.
|
1.3
Karakter Anak di Sekolah Dasar
Anak SD merupakan anak dengan katagori banyak
mengalami perubahan yang sangat drastis baik mental maupun fisik. Usia anak SD
yang berkisar antara 6-12 tahun menurut Seifert dan Haffung memiliki tiga jenis
perkembangan :
1.3.1
Perkembangan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar
Mencakup pertumbuhan biologis misalnya pertumbuhan
otak, otot dan tulang. Pada usia 10 tahun baik laki‐laki maupun perempuan tinggi dan berat badannya bertambah
kurang lebih 3,5 kg. Namun setelah usia remaja yaitu 12‐13 tahun anak perempuan berkembang lebih cepat dari
pada laki‐laki, Sumantri dkk (2005).
1.
Usia masuk kelas
satu SD atau MI berada dalam periode peralihan dari pertumbuhan cepat masa anak
anak awal ke suatu fase perkembangan yang lebih lambat. Ukuran tubuh anak
relatif kecil perubahannya selama tahun-tahun di SD.
2.
Usia 9 tahun
tinggi dan berat badan anak laki‐laki
dan perempuan kurang lebih sama. Sebelum usia 9 tahun anak perempuan relatif
sedikit lebih pendek dan lebih langsing dari anak laki‐laki.
3. Akhir kelas
empat, pada umumnya anak perempuan mulai mengalami masa lonjakan pertumbuhan.
Lengan dan kaki mulai tumbuh cepat.
4. Pada akhir kelas
lima, umumnya anak perempuan lebih tinggi, lebih berat dan lebih kuat daripada
anak laki‐laki. Anak laki‐laki
memulai lonjakan pertumbuhan pada usia sekitar 11 tahun.
5. Menjelang awal
kelas enam, kebanyakan anak perempuan mendekati puncak tertinggi pertumbuhan
mereka. Periode pubertas yang ditandai dengan menstruasi umumnya dimulai pada
usia 12‐13 tahun. Anak laki‐laki
memasuki masa pubertas dengan ejakulasi yang terjadi antara usia 13‐16 tahun.
6. Perkembangan
fisik selama remaja dimulai dari masa pubertas. Pada masa ini terjadi perubahan
fisiologis yang mengubah manusia yang belum mampu bereproduksi menjadi mampu
bereproduksi.
Hampir setiap organ atau sistem tubuh dipengaruhi
oleh perubahan-perubahan ini. Anak pubertas awal (prepubertas) dan remaja
pubertas akhir (postpubertas) berbeda dalam tampakan luar karena perubahan
perubahan dalam tinggi proporsi badan serta perkembangan ciri‐ciri seks primer dan sekunder.
Meskipun urutan kejadian pubertas itu umumnya sama
untuk tiap orang, waktu terjadinya dan kecepatan berlangsungnya kejadian itu
bervariasi. Rata‐rata anak perempuan memulai perubahan pubertas 1,5
hingga 2 tahun lebih cepat dari anak laki‐laki.
Kecepatan perubahan itu juga bervariasi, ada yang perlu waktu 1,5 hingga 2
tahun untuk mencapai
kematangan reproduksi, tetapi
ada yang memerlukan waktu 6
tahun. Dengan adanya perbedaan‐perbedaan ini ada anak
yang telah matang sebelum anak yang sama usianya mulai mengalami pubertas.
1.3.2
Perkembangan Kognitif Anak Usia Sekolah Dasar
Hal
tersebut mencakup perubahan-perubahan dalam perkembangan pola pikir. Tahap perkembangan
kognitif individu menurut Piaget melalui empat stadium:
1. Sensorimotorik
(0‐2 tahun), bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan medorong
mengeksplorasi dunianya.
2.
Praoperasional (2‐7 tahun), anak belajar menggunakan dan
merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata‐kata.
Tahap pemikirannya yang lebih simbolis tetapi tidak melibatkan pemikiran
operasiaonal dan lebih bersifat egosentris dan intuitif ketimbang logis.
3. Operational
Kongkrit (7‐11), penggunaan logika yang memadai. Tahap ini telah
memahami operasi logis dengan bantuan benda konkrit.
4.
Operasional
Formal (12‐15 tahun), kemampuan untuk berpikir secara abstrak,
menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
1.3.3
Perkembangan Psikososial Anak Usia Sekolah Dasar
Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan dan
perubahan emosi individu. J. Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan
individu harus sejalan dengan perkembangan aspek lain seperti di antaranya
adalah aspek psikis, moral dan sosial.
Menjelang masuk SD, anak telah Mengembangkan
keterampilan berpikir bertindak dan pengaruh sosial yang lebih kompleks. Sampai
dengan masa ini, anak pada dasarnya egosentris (berpusat pada diri sendiri) dan
dunia mereka adalah rumah keluarga, dan taman kanak‐kanaknya.
Selama duduk di kelas kecil SD, anak mulai percaya
diri tetapi juga sering rendah diri. Pada tahap ini mereka mulai mencoba
membuktikan bahwa mereka "dewasa". Mereka merasa "saya dapat
mengerjakan sendiri tugas itu, karenanya tahap ini disebut tahap "I can do
it my self". Mereka sudah mampu untuk diberikan suatu tugas.
Daya konsentrasi anak tumbuh pada kelas kelas besar
SD. Mereka dapat meluangkan lebih banyak waktu untuk tugas tugas pilihan
mereka, dan seringkali mereka dengan senang hati menyelesaikannya. Tahap ini
juga termasuk tumbuhnya tindakan mandiri, kerjasama dengan kelompok dan bertindak
menurut cara-cara yang dapat diterima lingkungan mereka. Mereka juga mulai
peduli pada permainan yang jujur.
Selama
masa ini mereka
juga mulai menilai
diri mereka sendiri
dengan membandingkannya dengan orang lain. Anak anak yang lebih mudah
menggunakan perbandingan sosial (social comparison) terutama untuk norma‐norma sosial dan kesesuaian jenis‐jenis tingkah laku tertentu. Pada saat anak‐anak tumbuh semakin lanjut, mereka cenderung
menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan
kemampuan mereka sendiri.
Sebagai akibat dari perubahan struktur fisik dan
kognitif mereka, anak pada kelas besar di SD berupaya untuk tampak lebih
dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai orang dewasa.Terjadi perubahan
perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial dan emosional mereka. Di kelas
besar SD anak laki‐laki dan perempuan menganggap keikutsertaan dalam
kelompok menumbuhkan perasaan bahwa dirinya berharga. Tidak diterima dalam
kelompok dapat membawa pada masalah emosional yang serius Teman‐teman mereka menjadi lebih penting daripada
sebelumnya. Kebutuhan untuk diterima oleh teman sebaya sangat tinggi. Remaja sering
berpakaian serupa. Mereka menyatakan kesetiakawanan mereka dengan anggota
kelompok teman sebaya melalui pakaian atau perilaku.
Hubungan antara anak dan guru juga seringkali
berubah. Pada saat di SD kelas rendah, anak dengan mudah menerima dan
bergantung kepada guru. Di awal awal tahun kelas besar SD hubungan ini menjadi
lebih kompleks. Ada siswa yang menceritakan informasi pribadi kepada guru,
tetapi tidak mereka ceritakan kepada orang tua mereka. Beberapa anak pra remaja
memilih guru mereka sebagai model.
Sementara itu, ada beberapa anak membantah guru
dengan cara-cara yang tidak mereka bayangkan beberapa tahun sebelumnya.
Malahan, beberapa anak mungkin secara terbuka menentang gurunya.
Salah satu tanda mulai munculnya perkembangan identitas
remaja adalah reflektivitas yaitu kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang
sedang berkecamuk dalam benak mereka sendiri dan mengkaji diri sendiri. Mereka
juga mulai menyadari bahwa ada perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan mereka
rasakan serta bagaimana mereka berperilaku.
Mereka mulai mempertimbangkan kemungkinan‐kemungkinan. Remaja mudah dibuat tidak puas oleh
diri mereka sendiri. Mereka mengkritik sifat pribadi mereka, membandingkan diri
mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah perilaku mereka. Pada
remaja usia 18 tahun sampai 22 tahun, umumnya telah mengembangkan suatu status
pencapaian identitas.
1.4
Masalah Belajar Anak di Sekolah Dasar
1.4.1
Pengertian Kesulitan Belajar
“National Joint Committee on Learning Disabilities”
(NJCLD) menyatakan bahwa kesulitan belajar adalah istilah generik yang
merupakan kelompok kelainan yang heterogen yang bermanifestasi sebagai
kesulitan yang bermakna dalam memperoleh dan menggunakan kemampuan untuk mendengarkan,
berbicara, membaca, menulis mengeluarkan pendapat dan matematika. Dalam
pengertian lain kesulitan merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan
adanya hambatanhambatan dalam mencapai tujuan, sehingga memerlukan usaha lebih
giat lagi untuk dapat mengatasi. Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai
suatu kondisi dalam suatu proses belajar yang ditandai adanya hambatanhambatan
tertentu untuk mencapai hasil belajar.
1.4.2
Beberapa Perilaku Gejala Kesulitan Belajar
1. Menunjukkan
hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh
kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2. Hasil yang
dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa
yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah.
3. Lambat dalam
melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari
kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4.
Menunjukkan
sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura,
dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan
perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak
mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak
mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
6. Menunjukkan
gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung,
pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya
dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal,
dan sebagainya.
1.4.3
Jenis-jenis Kesulitan Belajar
Kesulitan
belajar dapat dibagi menjadi tiga kategori besar.
1.
Kesulitan dalam
berbicara dan berbahasa.
2.
Permasalahan
dalam hal kemampuan akademik.
3. Kesulitan lain
yang mencakup kesulitan dalam mengkoordinasikan gerakan anggota tubuh serta
permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas.
Kesulitan membaca, menulis dan berhitung termasuk
dalam kesulitan dalam hal kemampuan akademik sebagaimana penjelasan di bawah
ini:
A.
Kesulitan Membaca (Disleksia)
Membaca yaitu melihat serta menahami isi dari apa
yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati atau dapat pula
diartikan mengeja atau melafalkan apa yang tertulis.
Membaca merupakan proses yang kompleks yang
melibatkan kedua belahan otak. Anak harus sudah memahami bahasa dan curah verbal
harus baik, mengenal huruf dan arah, dapat mengingat apa yang dilihat dan
didengar, dapat mengintegrasikan yang dibaca dengan bahasa tutur (koneksi
visual-auditoris). Juga atensi dan minat membaca anak harus cukup.
Anak dinyatakan mengalami disleksia bila pada usia 7
tahun atau akhir kelas 1 SD anak belum dapat membaca. Disleksia pada anak
lakilaki 3 hingga 6 kali lebih banyak daripada perempuan. Dua jenis disleksia yang
perlu diketahui adalah disleksia visual dan disleksia auditoris.
Pada disleksia visualis anak mengalami kesulitan
dalam persepsi visual-spasial dan memori visual. Anak sulit membedakan bentuk
huruf yang mirip (bayangan cermin seperti b-d, p-g, p-q, atau terbalik seperti
mw), gangguan urutan huruf (ibu-ubi) atau urutan suku kata (mata-tama). Analisis
dan sintesis visual kulit. Kelainan ini jarang hanya 5% dari jenis disleksia.
Anak ini menonjol dalam kemampuan persepsi auditoris atau mengingat cerita.
Pada disleksia auditoris atau disleksia linguistik,
anak mengalami kesulitan mengingat kembali kata-kata yang diucapkan, kesulitan
membedakan huruf yang bunyinya mirip seperti t-d, b-g, kesulitan mengeja,
kesulitan menemukan kata dan urutan yang didengar kacau (sekolah-sekohla).
Prevalensi cukup besar 50-80% dari jenis disleksia.
B.
Kesulitan Menulis (Disgrafia)
Menulis berasal dari kata dasar tulis, menulis
berarti membuat huruf atau angka dengan pena (pensil, kapur, dan sebagainya),
melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat dengan
tulisan.
Bahasa tulisan merupakan bentuk bahasa yang
ekspresif yang paling kompleks. Bahasa tulisan merupakan sistem simbol untuk
mengutarakan pikiran, perasaan, dan ide. Untuk itu anak harus memahami bahasa,
menggunakan bahasa tutur, dapat membaca, dan akhirnya mengekspresikan idenya
melalui kata-kata tulisan. Kesulitan menulis dapat pula disebabkan anak tidak
dapat mengalihkan informasi atau persepsi visual ke sistem motorik tangan.
Kesulitan menulis anak dengan gangguan integrasi
visual-motor tidak mampu belajar pola motorik untuk menulis, atau keterampilan motorik
nonverbal. Solusi awal adalah dengan memberikan soal dengan jawaban ganda.
C.
Kesulitan Menghitung (Diskalkulia)
Berhitung dalam kamus besar bahasa indonesia berasal
dari kata hitung yang berarti perihal membilang (menjumlahkan, mengurangi, membagi,
memperbanyak, dan sebagainya). Berhitung yaitu mengerjakan hitungan
(menjumlahkan, mengurangi, dan sebagainya). Sedangkan menghitung yaitu mencari
jumlahnya (sisa pendapatannya) dengan menjumlahkan, mengurangi dan sebagainya. Gangguan
pada kemampuan menghitung atau kemampuan matematika adalah salah satu gangguan
belajar. Gangguan matematika ini dikelompokkan menjadi empat keterampilan.
1. Keterampilan
linguistik yaitu yang berhubungan dengan mengerti istilah matematika dan
mengubah masalah tertulis menjadi simbol matematika.
2. Keterampilan
perseptual yaitu kemampuan mengenali dan mengerti simbol dan mengurutkan
kelompok angka.
3. Keterampilan
matematika yaitu penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dasar dan
urutan operasi dasar.
4. Keterampilan
atensional yaitu menyalin angka dengan benar dan mengamati simbol operasional
dengan benar.
1.4.4
Upaya untuk Menangani Anak yang Mengalami Kesulitan
Belajar
Pemecahan kesulitan belajar dapat dilakukan dengan
cara melakukan diagnosis. Diagnosis adalah upaya mengenali gejala dengan cermat
terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang
melanda siswa. Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang
terdiri dari langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya
kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur jenis ini dikenal
sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.
Dalam melakukan diagnostik kesulitan belajar siswa,
perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan
observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti
pelajaran.
2. Memeriksa
penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan
belajar.
3. Mewawancarai
orang tua atau wali untuk mengetahui hal-hal keluarga siswa yang mungkin
menimbulkan kesulitan belajar.
4. Memberikan tes
diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar
yang dialami siswa.
5. Memberikan tes
kemampuan inteligensi (IQ) khususnya kepada siswa yang mengalami kesulitan
belajar.
Selain itu untuk mengatasi kesulitan belajar siswa
pengidap sindrom disleksia, disgrafia, dan diskalkulia, guru dan orang tua
sangat dianjurkan untuk memanfaatkan support teacher (guru pendukung). Guru
khusus ini biasanya bertugas menangani para siswa yang mengalami sindrom-sindrom
tersebut di samping melakukan remidial teaching (pengajaran perbaikan).
Aktivitas remidial untuk menangani kesulitan belajar berhitung hendaknya
mencakup tiga kategori yaitu pengajaran konsep matematika, keterampilan, dan
pemecahan masalah.
BAB II
KESIMPULAN
1.1
Kesimpulan
Proses pendidikan dan pembudayaan merupakan satu rangkaian
proses humanisasi, sehingga keduanya tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan.
Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah
proses pendidikan. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti
menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan
manusia.
Proses pendidikan bukan semata penguasaan pengetahuan,
keterampilan teknikal saja, karena ini sekedar alat, atau perkakas. Tetapi
proses pendidikan harus bertumpu pada anak itu sendiri, untuk dapat berkembang
mencapai sempurnanya hidup. Karena buahnya pendidikan adalah matangnya jiwa
anak, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang sempurna dan
memberikan manfaat bagi orang lain dan lingkungannya.
Dalam perjalanannya, proses pendidikan harus berhadapan
dengan arus globalisasi yang membawa dampak positif maupun negative. Ekses
globalisasi ini mempengaruhi gaya hidup suatu bangsa, yang pada gilirannya
dapat mereduksi, bahkan merusak harkat, martabat dan jati diri bangsa.
Sebagai upaya mempertahankan dan membangun harkat, martabat
dan jati diri bangsa, perlu digalakkan pendidikan karakter yang salah satunya
dapat ditempuh melalui pengembangan budaya sekolah.
REFERENSI
Al Arifin, Akhmad
Hidayatullah (2012). Pendidikan Karakter
dan Budaya Sekolah. From http://ulilalbabjong.wordpress.com/2012/01/23/pendidikan-karakter-dan-budaya-sekolah/.
Sudrajat, Ajat (2012). Membangun Budaya Sekolah Berbasis Karakter
Terpuji. Yogyakarta: FIS UNY.
Hasan, Said Hamid
(2010). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat
Kurikulum.
Sugiyanto (2012). Karakteristik Anak Usia SD. Jakarta:
Balai Pustaka.
Winarsih. 2013. “Upaya
Guru dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Membaca, Menulis, dan Berhitung
(CALISTUNG) pada Siswa Kelas 1 SD Negeri Jatiroto, Wonosari, Purwosari, Girimulyo,
Kulon Progo”. Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan. Program Sarjana. Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar